Tidak
diketahui pasti kapan masuknya Agama Islam ke wilayah Nusantara, namun dari
beberapa pendapat ahli menyebutkan bahwa Islam masuk antara abad ke 7 sampai 14
Masehi. Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab,
Persia ataupun Mesir. Islam membawa misi cinta damai dalam penyebarannya.
Maka dari itu penyebarannya yang melalui jalan damai itu pulalah terjadi suatu perpaduan yang baik antara budaya lokal dengan budaya Islam. Perpaduan ini dapat dilihat secara jelas pada sistem sosial, sistem pemerintahan yang ada di kerajaan Islam, kesenian ataupun pula dalam segi arsitrektur bangunan masjid.
Maka dari itu penyebarannya yang melalui jalan damai itu pulalah terjadi suatu perpaduan yang baik antara budaya lokal dengan budaya Islam. Perpaduan ini dapat dilihat secara jelas pada sistem sosial, sistem pemerintahan yang ada di kerajaan Islam, kesenian ataupun pula dalam segi arsitrektur bangunan masjid.
1. Sistem
sosial
Sebelum
Islam masuk ke Nusantara masyarakat masih memengang teguh kepercayaan dari
Hindu-Budha yang menganut sistem kasta dalam masyarakatnya. Namun setelah Islam
masuk, kepercayaan ini ditinggalkan karena dalam Islam tidak mengenal perbedaan
antara masyarakat satu dengan yang lainnya. Semua manusia sama dihadapan Tuhan
namun yang membedakan adalah keimanan dan ketakwaan dari manusia itu sendiri.
Selain itu Islam dalam penyebarannya yang lebih mementingkan rasa cinta damai
mengakibatkan banyak masyarakat yang berbondong-bondong untuk masuk Islam dan
meninggalkan ajaran lama mereka. Ajaran
Islam lebih cepat berkembang.Penyebaran Islam pada awalnya menyebar ke golongan
masyarakat tingkat bawah karena mereka senang tidak dibeda-bedakan berdasarkan
golongan mereka.Setelah masuk ke golongan masyarakat tingkat bawah kemudian
Islam menyebar ke golongan istana ataupun kerajaan atas jasa dari para
guru-guru agama.
2. Sistem
Pemerintahan
Dalam
sistem pemerintahan tidak
mengalami perubahan yang signifikan.
Di dalam Agama Islam pemimpin dikenal dengan sistem khalifah fi ardhi atau pemimpin di bumi. Pemimpin di bumi ini
dapat dalam Islam dapat disebut dengan raja.Ini sama seperti yang ada di Agama
Hindu-Budha yang memiliki konsep bahwa raja adalah wakil Tuhan di bumi ini. Ini
sama seperti konsep Agama Islam. Di
Nusantara sendiri pada masa Islam, sistem pemerintahannya masih sama dengan
budaya Hindu-Budha yakni tetap menggunakan raja sebagai pemimpin dari sebuah
kerajaan atau wilayah. Raja dalam memerintah dibantu oleh penasehat raja yang
bertugas untuk memberikan nasehat kepada raja tentang masalah-masalah dalam
kerajaan. Selain itu di dalam pemerintahannya raja mengganti ataupun juga
menambahkan gelar didalam namanya seperti Sultan. Ini terlihat dari nama raja Kerajaan
Banten yakni Sultan Agung Hanyokrokusumo.
3. Kesenian
Dalam hal kesenian,
budaya Islam lebih terlihat akulturasinya dengan budaya lokal. Seperti
contohnya pada seni satra, didalam seni satra ini muncul kitab-kitab yang
menggunakan bahasa Melayu.
Dalam
seni pertunjukkan bentuk akulturasi terlihat jelasyakni dengan adanya
pertunjukkan wayang yang menggunakan cerita-cerita Islam. Kita tahu wayang itu
merupakan suatu pertunjukkan yang kental akan budaya Hindu yang terlihat dari
tokoh-tokoh pewayangan yang ada dalam kepercayaan Hindu. Namun dalam
perkembangan selanjutnya kemudian kepercayaan itu diakulturasikan ke dalam budaya
Islam dengan tujuan agar Agama Islam dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat. Banyak tokoh yang mengakultirasikan antara budaya lama
dengan budaya Islam dengan menggunakan media wayang salah satunya adalah Sunan
Kalijogo yang dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa menggunakan media wayang
ini.
4. Arsitektur
Dalam
hal arsitektur, bangunan-bangunan pada masa Islam seperti masjid, makam ataupun
juga bangunan lainnya mendapat pengaruh dari kebudayaan lama yang kemudian
berakulturasi dengan budaya baru dan menghasilkan bentuk bangunan yang baru.
a. Masjid
Masjid merupakan tempat
yang digunakan oleh umat Islam untuk menjalankan ibadah shalat atau yang
lainnya. Masjid yang ada di Nusantara pada masa Islam mendapat pengaruh dari
kebudayaan lama seperti contohnya pada atap masjid yang berbentuk tumpang dan
berjumlah ganjil semakin ke atas semakin kecil. Bentuk atap tumpang ini pada masjid tradisional sering berjumlah 3 buah
yang menunjukkan 3 tingkatan dalam agama Islam yakni iman, islam dan ihsan.
Atap tumpang sering
kita temui pada bangunan Pura yang ada di Bali. Atap tumpang dianggap sebagai
bentuk perkembangan dari bangunan candi. Bentuk ini kemudian disempurnakan dengan masuknya
Islam di Nusantara terutama dalam segi pembangunan bangunan masjid. Kemudian
pada zaman Islam bentuk atap dibangun seperti yang ada pada bangunan candi
tersebut yakni menggunakan atap tumpang, ini dapat dilihat dari masjid-masjid
tradisional seperti Masjid Demak ataupun Masjid Ampel yang menggunakan atap yang berbentuk tumpang dan menjulang ke
atas dan berjumlah ganjil. Selain itu
contoh lain adalah Masjid Ampel yang pada mimbarnya dihiasi medalion dan daun-daunan
serta surya Majapahit.
b. Makam
Makam adalah tempat
yang digunakan untuk menguburkan mayat orang-orang yang telah meninggal. Makam
juga sebagai tempat terkhir bagi bagi orang yang telah meninggal. Maka dari
tempat terakhir ini pada masa Islam makam dari orang-orang yang berjasa dalam
penyebaran Islam ini dibangun dengan baik dan juga ditempatkan di tempat-tempat
yang strategis guna sebagai penghormatan terakhir bagi tokoh tersebut. Pada
masyarakat Hindu-Budha pemakaman biasanya dilakukan di candi-candi ataupun
tempat yang lainnya, namun seiring dengan adanya pengaruh Islam hal yang
demikian kemudian diubah sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk akulturasi dari
kebudayaan lama dengan budaya Islam dalam hal makam ini dapat dilihat dari
Makam yang ada di Sendang Duwur Tuban yang di dalam kompleks masuk makan
tersebut gapuranya seolah-olah menunjukkan kalau bangunan itu adalah candi dari
depan. Namun apabila ditelusuri sampai ke dalam bangunan tersebut adalah makam
Islam.
Selain
itu ada Makam tertua yang ada di Nusantara yakni makam Fatimah Binti
Maimun yang lebih dikenal dengan Wari di Leran Gresik(tahun 1082 M), dan
makamnya diberi cangkup atau kubah yang didirikan untuk mengenang orang-orang
penting yang ada pada budaya Hindu-Budha. Hal semacam ini membuktikan bahwa pada
awal abad ke-11 M masyarakat masih terikat dengan bentuk bangunan pada masa
Hindu-Budha.
c. Menara
Dalam Islam menara ini
memiliki makna sebagai tempat yang digunakan untuk mengumandangkan suara adzan
agar dapat didengar ke seluruh penjuru negeri. Selain itu menara juga merupakan
hiasan yang ada di lingkungan masjid guna memberikan keindahan bagi lingkungan
di sekitar masjid. Menara masjid ini juga mengalami akulturasi dengan budaya
lama. Ini dapat dilihat dari Menara masjid Kudus yang dulunya merupakan sebuah
candi Jawa Timuran yang kemudian diubah fungsinya menjadi menara masjid dan
juga disesuaikan dengan diberi atap tumpang agar lebih menunjukkan budaya
Jawanya.
Masjid yang ada di Jawa memiliki
ciri tersendiri dan beda dari masjid-masjid yang ada di Timur tengah, ciri-ciri
tersebut antara lain :
1)
Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal (massive)
yang agak tinggi;
2)
Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia
model kuno dan langgar, tetapi di atas dasar yang padat;
3)
Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri
dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil;
4)
Masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau
barat laut, yang dipakai untuk mihrab;
5)
Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya;
6)
Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan
satu pintu masuk di depan, disebut gapura.
7)
Denahnya berbentuk segi empat;
8)
Dibangun di sebelah barat alun-alun;
9)
Arah mihrab tidak tepat ke kiblat;
10)
Dibangun dari bahan yang mudah rusak;
11)
Terdapat pant, di sekelilingnya atau di depan masjid;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar